Senin, 14 November 2022

Sampai Ketemu Lagi

Sampai ketemu lagi.

"Kak As, nanti saya telpon ya"

Aku menjwabnya dengan senyuman.

"Sampai ketemu lagi, kak" ia pun melengkungkan bibirnya. Manis.

Berkali-kali ia bahkan masih melambaikan tangan ketika pick up yang membawanya mulai bergerak meninggalkan halaman kosku yang juga halaman rumah tantenya.

aku balas melambaikan tangan ke arahnya, "fiy amanillah"

***

Beberapa bulan lalu aku mulai menempati kos bercat kuning berjarak sekitar 1 km dari madrasah tempat tugasku. Bangunan kos itu memiliki 4 kamar yang semuanya menghadap ke sisi kanan bangunan rumah  pemiliknya. Gerbang masuk kos tentu adalah gerbang rumah empu kos.

Sang Empu yang kini kupanggil Bapak dan Mama ialah pasangan nan luar biasa sabar. Banyak hal tentang mereka pelan-pelan kuketahui. Rupanya Allah masih belum mengaruniai anak bagi keduanya. Namun, para keponakan silih berganti membersamai Bapak dan Mama.

 

Sejak awal yang kutau hanya seorang anak  perempuan kelas XI MAM1 yang dengan ketus melayaniku saat pertama kali aku berbelanja di kios kala itu. Namun, beberapa waktu setelah aku menempati kos, pertengahan bulan Juni lalu ketika Mama kembali dari Selayar, ada seorang anak perempuan yang kelihatannya rajin lagi pandai memasak.

"Assalaamu 'alaykum" ketiga kalinya aku mengucapkan salam.

"Wa 'alaykumussalaam wa rahmatullah wa barakaatuh" Lengkap ia mendo'akanku. Seorang gadis yang kulihat masih mengenakan mukena muncul untuk melayani ku.

"Maaf, beli apa, kak?

"Beli mi" kusodorkan selembar uang lima ribu ke arahnya.

Firda namanya. Seorang gadis berkulit putih, wajahnya oval dengan bibir tipis dan hidung bangir. Pipinya mudah memerah. Ia pemalu sekaligus perasa.

Aku ingat betul pertemuan pertamaku dengannya itu.

 

Ia tak banyak bicara. Bahkan tiap kata yang  terlontar dari mulutnya serasa selalu penuh perhitungan. Bak seorang anak matematika yang jago hitung dan menganalisis, bagai sang arsitektur yang senantiasa cermat lagi teliti menentukan konsep lengkap dengan biayanya, bahkan ia seperti ahli ekonomi yang konsisten menjalankan prinsip modal tertentu, hasil unlimited.

"Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa alihi" ucapnya lirih saat kami sedang menapaki lorong kecil berkerikil di komplek dekat rumah. Matahari sedang tertawa menang menumpahkan semua cahayanya tanpa batas ke seantero permukaan bumi tempat kami lewat siang itu sepulang dari ATM.

"Kakak.. panas ini pasti belum seberapa ya dibandingkan hari berkumpulnya kita suatu hari nanti" tuturnya pelan sambil menoleh ke arahku.

"Benar, Da"

"Apa kita akan bisa melewati shirath..? Tanpa tergelincir?" Ada mata air di netranya.

"Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala ali sayyidinaa Muhammad" ucapnya lagi untuk kesekian kalinya sepanjang kami berjalan.

"Allahumma shalli 'alayh wa alihi" aku menanggapi shalawat yang dikirimkannya pada Nabi. Aku tidak mau disebut pelit oleh Nabi.

Tanpa terasa perjalanan kami berakhir di teras rumah. Mama dan Bapak sedang duduk berdua, berdampingan di antara deretan kursi yang disediakan di sana.

Aku pun mendudukkan diriku di lantai. Begitu pula Firda.

"Tante, pulang..." Volume suaranya mengecil di kata kedua.

Mama hanya memberikan tatapan yang bisa kuartikan sebagai kata tidak.

Sementara Firda menarik bibirnya. Datar. Lalu ia memilih bangkit dari duduknya.

 

Semula kukira dia merajuk dan hendak mengurung diri di kamar. Ternyata dia menyimpan kartu ATM miliknya yang tadi dicek dan katanya belum ada kiriman.

"Kakak liburannya nanti ke Selayar yuk" kalimat pertama yang diucapkannya setelah ia kembali duduk di dekatku.

"Atau.. kak As mengajar di sana saja" Agnes yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah juga menambahi idenya.

"Mana bisa Da, Nes" Tanggapku pendek.

"Tempat kakak mengajar ditentukan oleh Pak Menteri, harus berdasarkan surat penting yang disebut SK, Nes."

Mama dan Bapak hanya bisa saling pandang menahan tawa.

"Kalau sekedar jalan-jalan selama waktu libur.. ya, bisa saja. Asal liburnya agak lama, cukup untuk waktu pergi, plesir, dan pulang tentunya" jawabanku akhirnya membuat menit-menit selanjutnya penuh dengan celotehan serba-serbi selayar.

Hingga setelah Bapak beranjak menuju masjid, Firda adalah yang pertama bergerak menanggapi seruan menuju kebahagiaan.

"Hayya 'alal falah..."

***

"Ponsel kakak kemarin kehabisan daya, kakak ngobrol cuma sebentar" aku dan Agnes bertukar cerita di teras saat Mama sedang bicara pada Bapak menggunakan hp si Agnes.

"Kata Aji2, Firda tidak mau makan, kak" ucap Agnes pelan.

"Firda lagi sakit, mulutnya tidak enak, kak" Agnes menjawab pertanyaan yang tergambar dari ekspresiku sebelumnya.

Aku sengaja melempar tanya yang bercokol di kepalaku.

"Sakit apa?"

"Sakit kepala, kadang pinggangnya juga. Makanya sudah dua hari Firda tiduran saja, kak"

"Semoga Firda lekas membaik ya"

"Aamiin" Agnes ikut mengungkapkan harapannya bersama satu kata yang kurapalkan di akhir semogaku.

Mega merah di ufuk barat telah menghilang sedari tadi berganti pekatnya hitam sang malam. Dari ihwal yang diceritakan Agnes, aku mengerti bahwa selama ini Firda menunggu kiriman untuk bisa segera pulang. Beberapa kali ia memang meminta agar kembali ke Selayar. Namun, beberapa hal membuat Mama berusaha memupus keinginan Firda sementara waktu.

"Assalaamu 'alaykum" suaranya seakan nyata seperti wajahnya yang tiba-tiba mondar-mandir di benakku.

Ahad pagi di pekan pertama bulan Oktober kemarin, Firda dan Agnes memenuhi inginku, membunuh penasaran akan dermaga laut Nangamese yang terkenal sebagai tempat berakses puluhan motor laut penyedia jasa menuju 17 pulau tersohor di daerah Riung ini. Bersama mentari yang tak bosan menyapa hari dengan menyembulkan pipinya di ufuk timur, seusai shubuh kami bertiga berjalan santai menuju dermaga.

Aku melihat sisi lain seorang Firda di sana. Ia menampilkan dirinya tak jauh beda dengan Agnes, riang.

"Keep, kak" ucapnya tiba-tiba setelah kutunjukkan padanya video berisi rekaman dirinya.

Ya, aku memutar tubuhku 360° dan berakhir di dirinya yang sedang duduk di tepi kanan bagian tengah dermaga saat itu.  Di akhir video, aku memintanya say hi dan ia mengucapkan salam. Persis... Seperti suara yang baru saja mengetuk gendang telingaku tadi.

Ah, Firda..

Kau merinduku?

***

Sepi. Lapangan voli di pojok kanan perempatan jalan dekat kos yang biasanya menjadi langganan tempat pertandingan kecil warga komplek dan sekitarnya kosong. Bahkan sekedar permainan tanpa personil lengkap pun tak terlihat tanda-tandanya akan terjadi sore itu. Aku memilih langsung membuka pintu kamarku. Sejak pagi aku dan teman-teman sudah cukup bergelung dengan bahan-bahan pekerjaan kami. Rasanya aku ingin ber-me time.

"Assalaamu 'alaynaa wa 'alaa 'ibadihi shshaalihiyn" benar-benar sepi sampai aku bisa mendengar lirih salamku sendiri saat memasuki kamar.

Ketika membuka jendela, sorot mataku menabrak beberapa pasang sandal di depan pagar teras rumah Bapak dan Mama. Pikiranku seketika berlari ke lorong-lorong waktu.

"Pulau selayar itu seperti Alif, kak" ucap Firda melucu. Namun, benar adanya.

"Kalau nanti kakak ke sana.." ia tersenyum lebar. Manis. Seperti biasanya. Ia seakan tengah membayangkan keberangkatanku ke kampung halamannya. "Dari sini Flores, kakak naik kapal sekitar 14 jam perjalanan lalu singgah di Jampea. Selanjutnya kapal akan ke Bira, kak.” Ia sengaja berhenti berucap. Seolah sedang berkaca di bola mataku, ia menatapku lekat.

“Turun di Bira?”

“Hu’um” ia mengangguk. Senyumnya pun merekah.

“Dari pelabuhan Bira, kakak masih harus naik kapal lagi ke Tammatata” Ia memberi jeda agar aku meresapi kata-katanya.

“Sedikit lagi kakak sampai tuh. Di Tammatata kakak akan numpang angkot menuju dermaga Padang” wajahnya berseri, seakan-akan dirinya benar-benar sedang menempuh perjalanan dan kini sampai di dermaga Padang yang disebutnya.

“Sekarang tinggal sisanya, kak. Naiklah perahu tujuan dermaga Kahu-kahu… kalau kakak sudah menapaki tanah, jangan lupa toleh kiri kanan, karena aku menunggu kakak di area dermaga itu, kak” ia tertawa kecil.

"Apa nama kampung kalian?"

"Kahu-kahu, kak"

"Di sana ada bandara?"

"Ada di kecamatan sebelah, beda pulau. Satu daratan dengan Rumah Sakit dan dermaga Padang tadi, kak."

Sebelum akhirnya Bapak mengantarnya kembali ke sana, Firda dengan ceria banyak membicarakan tentang kampungnya.

“ternyata Orang tua Firda khawatir merepotkan Aji, kak” ucap Agnes di sela menyesap minumannya sepulang dari madrasah kemarin.

Kusiratkan tanya di wajahku.

“Jadi selama ini Firda di rumah saja, baru tadi diantar ke rumah sakit” Agnes mengungkap hal yang tak terpikir olehku. “butuh ongkos besar, kak. Mana rumah sakit jauh pula”

O iya, pertama pasti menyeberang dulu. Aku membenarkan perkataan Agnes dengan diamku. Sebongkah sesal mencuat dihatiku. Aku tak memberi apapun yang berarti untuk Firda.

“Bu guru, Firda minta do’anya, bu guru” suara Bapak dialamatkan untukku saat Mama sedang video call dengan keluarga di Selayar. Bapak melihatku lewat di belakang Mama ketika itu.

“Iya, Bapak. Semoga Firda lekas pulih” jawabku takzim sambil memandang sebentuk senyum Firda yang duduk di samping Bapak.

“Kakak...” senyumnya kian mengembang bersama air matanya yang tetiba menggenang.

Hanya itu. Satu kata. Aku pun hanya tersenyum sebelum hape kembali berpindah tangan dariku.

Adzan ashar mulai berkumandang. Aku berhenti melanglang buana. Kukumpulkan kesadaranku untuk kembali ke sore yang sepi ini.

Tiba-tiba lengkingan membelah hening di tengah adzan. Aku bersegera bangkit keluar kamar tanpa peduli pada jiwaku yang masih berlari dari gang sempit sang waktu mengejaraku menuju rumah bapak dan mama.

Para tetangga pun tak kalah kagetnya. Mereka bermunculan dari rumah masing-masing. Sama sepertiku. Satu kata yang membuatku sepenuhnya tersadar adalah FIRDA.

Dari pintu kulihat Mama menangis. Memanggil Firda dengan lirihnya. Pilu. Betapa seorang Wanita yang menganggap para kemenakan sebagai anaknya kini kehilangan anak yang bahkan belum pernah ia miliki.

Sedangkan Agnes berlinang air mata sambil tetap memegang ponsel yang masih tersambung panggilan video dan menampilkan gambar keadaan diri Firda. Aku memilih mendekat ke arah Mama. Berusaha menguatkannya. Tanpa kata, hanya elusan yang bisa kuberikan.

Akhirnya hp Agnes berada di tanganku. “Innaa lillahi wa innaa ilayhi raji’uun” kupandangi wajahnya. Ia terbujur di tengah ruangan. “Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa ‘aafihaa wa’fu ‘anhaa”.

Kubisikkan pula shalawat atas Nabi karena aku ingin do’aku untuk Firda sampai pada Allah. Lama kupandangi wajah putih gadis bersenyum manis itu.

Apa belakangan ini kau rajin bersolek untuk mengaburkan pucat wajahmu?

Ternyata orang baik memang selalu lebih dulu terbebas dari dosa dan beristirahat lebih awal.

Apa senyummu karena sebelum waktumu usai kau melihat amalmu menampakkan dirinya berwujud indah?

Aku masih memegang hp Agnes. Tante Ros, ipar Mama yang duduk didekatku berbicara dengan suara rendah. “Tadi dia sendiri yang minta makan”

“Pantas ia mendesak untuk kembali ke Selayar, rupanya ia akan pulang” suara Mama kudengar terbata di antara tangisnya.

Aku mengalihkan pandanganku dari hp sekaligus kuberikan ke Mama untuk melihat Firda lagi sebelum dimandikan apalagi dikafani. Dan yang kudapat adalah isak yang makin mengguncangkan pundak Mama.

“Baru saja aku minta maaf, nak.”  Mama berkata entah kepadaku atau pada Firda.

Agnes pun membisikiku kejadian beberapa waktu lalu. Mama sebagai orang tua dengan rendah hati meminta maaf pada Firda sekiranya ada salah kata atau perbuatan yang Firda tidak berkenan.

“Firda mengangguk, kak”

Alhamdulillah, Mama sempat minta maaf. Aku?!

‘Ashar berlalu. Jangankan shalat ghaib, shalat wajib empat rakaat di sore ini pun mustahil kulakukan. Aku sedang tak bisa shalat. Maka aku meniru Firda, menggumamkan shalawat berulang kali. Berharap kelak Nabi mengakuiku, memberi syafa’at untuk Firda juga aku.

Perlahan tangis Mama mereda. Mama sudah bisa bicara seperti biasa.

Seperti di Selayar, selama 3 malam akan diadakan tahlilan di rumah.

Allah Rahmaan.. Firda, beruntunglah kamu yang mendahului kami saat ini. Aku tidak tau seperti apa aku berpulang nanti.

Tunggu kakak, Firda.. Sampai ketemu lagi...

 

 

 

 

1.      MAM                    :  Madrasah Aliyah Muhammadiyah

2.      Aji                        :  Panggilan sayang Agnes untuk Bapak

Hanya Dia Yang Tak Berpasangan

 Angin pagi membelaiku lembut. Tak hanya sejuk, kadang ia bisa begitu menusuk menelisik masuk menerobosi sel-sel kulit terluar.

Aku ingat kataNya. Bertasbihlah di waktu pagi dan petang. Sebuah perintah. To the point, sederhana, jelas, begitu lugas tertulis dalam surat cintaNya untuk kita. Di surah yang terkenal, Al Ahzab. Ayat 42.

Aku ingin bersama angin yang menari memujiNya.

“Subhanallah wa bihamdihi subhanallah al ‘azhiym” selembut belaian angin, aku berbisik, mesra. Sementara kedua tanganku terus menari mengucek pakaian yang kucuci. Ya, setiap pagi aku berusaha membantu Mama. Pilihanku seringkali jatuh pada seember cucian berkomposisi pakaian kami berlima, aku, ketiga adikku juga mama.

Aku juga jadi ingat cerita yang disampaikan langsung seorang alim di daerahku. Laksana mentari di balik segepok awan yang dalam seketika siap menumpahkan mata airnya, sang alim dengan binar ceria di netranya memperkuat medan magnet dengan lengkungan bibirnya menyampaikan  cerita tentang dirinya dan sepasang pakaian kotor seorang wanita. Teduh. Namun, hangat. Seusai dhuha berjamaah di lapangan futsal madrasah pada hari istighasah sebelum ujian akhir kelas XII beberapa tahun lalu.

“saya di rumah beserta isteri…” sang alim tersebut memulai ceritanya.

“pakaian saya bisa saya cuci sendiri. Silahkan kalau dicuci oleh isteri saya atau diserahkan ke jasa cuci. Tidak jadi soal bagi saya” ia berhenti agak lama sambil melempar pandangan ke arah para jamaahnya.

Ia bahkan sengaja membuat kami sedikit menunggu dalam terkaan tentang sepasang pakaian kotor itu.

“yang saya mau adalah sepasang pakaian kotor incaran saya. Harus saya yang mencucinya. Saya ingin selalu menjadi pencuci sepasang pakaian kotor dari seorang wanita itu setiap harinya. Alhamdulillah, saudara-saudaraku sekalian… ada surga di rumah saya” ungkapnya membuatku kian larut dalam urusan tebak-menebak di benakku.

“Alhamdulillah, Ine jo1 masih ada. Allah masih memberi kesempatan kepada ja’o2 untuk membersamai Ine3 dan menjadi tukang cucinya” mata air di mataku menumpahkan genangan airnya begitu saja ketika itu.

“Af, sini..” suara mama sedikit mengagetkanku.

“jangan sampai kamu terlambat ke MA. Biar sini mama lanjutkan”

Aku menggeleng. “Af sudah mandi tadi sebelum shubuh, Mama” kilahku cepat sebelum mama semakin dekat ke arahku.

Yang tersisa di ember itu pakaianku. Nihil dong, kalau pakaian mama sudah kucuci, tapi pakaianku sendiri dicuci oleh mama. Tidakkah sudah cukup berpuluh tahun mama melakukan semuanya untukku juga adik-adikku. Sebuah tanya yang tak perlu disuarakan.

Tirai malam sepenuhnya telah disingsingkan oleh pipi gembul sang mentari yang perlahan namun pasti terus menapaki kaki langit mengobarkan kemenangan benderang dirinya. Aku pun telah menyelesaikan tugasku. Kesadaran hasil mengimitasi perbuatan sang alim terhadap Ine-nya.

“Mama, Af berangkat dulu” Kuraih tangan mama dan menghirup keberkahan yang Allah selipkan di gurat kasar tangan lelah itu.

“Do’akan Af ya, Mama” bisikku pelan sebelum berpaling keluar rumah. “Assalaamu ‘alaykum”

Tak kudengar suaranya. Tapi aku tau ia pasti menjawab salamku. Karena dirinya yang mengajari aku dan adik-adikku untuk ‘mencuri’ salam. Aku juga tau, sepenuh hatinya ia selalu mendo’akan kami, melangitkan berjuta harapan walau tanpa kata.

“Ibu…”

Bisik tasbihku terhenti. Seseorang mencegahku di depan pintu gerbang. Aku hanya melihatnya beberapa saat sebelum berlalu ke ruang guru dan mengucapkan salam. Agar ia tersadar bahwa ia telah menghadangku tanpa salam pula.

Detik memang tak betah berdiam diri, bergulir tanpa henti hingga akhirnya aku berada dalam kelas yang hening karena semua sedang menyalin pembahasan penyelesaian soal latihan yang kutorehkan di papan.

“Jadi bagaimana, Bu?” seorang anak lelaki berwajah bulat, putih kulitnya begitu kontras dengan rambutnya yang pekat hitam lagi tebal dan klimis. Ia yang tadi pagi meminta sedikit waktu di akhir jam pelajaranku.

Aku mengangguk. Menyisakan beberapa menit untuk anak itu.

Cala, namanya. Ia membagikan jajan kepada semua warga kelas yang kemudian masing-masing melontarkan ucapan selamat ulang tahun.

Aku memperhatikan tingkah mereka. Menyadari bahwa selama ini secara tak langsung Mama memberi kami pelajaran besar. “Jangan berharap pemberian orang lain. Sakit, marah, kecewa sendirilah yang akan didapat bila nyatanya tak diberi” kira-kira demikian kalau dibahasakan.

Menunggu orang lain memberi kita hadiah apalagi di saat kita berulang tahun? No, justru saat kita berulang tahun, kitalah yang harus memberikan hadiah. Tentu bukan hanya sekedar seperti si Cala yang kulihat itu. Namun, selama Allah masih mengembalikan ruh kita saat bangun tidur hingga takdir pun mengantar kita bersua dengan hari lahir kita.. yang paling berhak mendapat kado hadiah ulang tahun adalah Mama, sang Ine.

Bahkan sebentar lagi tanggal lahir Mama tiba di depan mata. Bertetangga dengan tanggal pulangnya Bapak pada Allah. Apa yang bisa kuberikan untuk Mama? Mencuci? Hanya secuil bantuan. Bukan sesuatu yang berarti. Wajah Atik, Mat, dan Jibran melintas di benakku begitu saja.

Bel berteriak berdentang tiga kali berhasil menghalau pergi wjah ketiga adikku. Waktuku selesai. Aku pun meninggalkan kelas dengan membawa oleh-oleh sebuah pertanyaan penting yang harus segera kujawab bukan hanya dalam kata. Semua aktivitasku selanjutnya tak lepas dari gaung pertanyaan itu.

“Kak Af, Mama bilang, sampaikan ke kakak. Bulan depan, saya kembali ke Makassar..” kalimatnya terhenti.

Aku tau arah pembicaraannya. Adikku yang satu itu sarat rasa bernama malu. Begitulah. Kami memang terbiasa dan berusaha tidak meminta pada orang. Sesuatu yang kami tangkap dari kebiasaan Mama, tersalin otomatis dalam diri kami masing-masing.

Aku mengangguk. “..’Abdullah, ..” sengaja lengkap kusebut namanya. Cukup lama kugantungkan kalimatku di udara, berharap ia mengerti beratnya menjadi Mama.

“Kuliah yang benar. Ingat Mama” Hanya itu yang berhasil keluar dari mulutku.

Sementara adik perempuanku, si nomor dua, takkan mungkin bisa bicara padaku tentang hal semacam itu. Yang disampaikan oleh ‘Abdullah telah mewakili dirinya juga. Dan akhirnya, aku akan lebih sering berbicara pada si bungsu, meminta tolong padanya agar bersabar. Menunggu antrian hingga kedua kakaknya selesai, barulah ia masuk kuliah.

Langit sore itu seakan tak kunjung habis air matanya. Sedangkan di ufuk barat tampak semburat jingga yang tak sempurna terbalut selimut kelabu. Maghrib di rumah. Jibran menyerukan adzan, Mat yang meingamami kami. Aku sebenarnya lebih suka menyebut sang Imam besar di rumah kami itu dengan nama aslinya, ‘Abdullah.

Shalat berjama’ah di rumah seperti kali itu selalu membawaku pulang ke waktu berpuluh tahun lalu. Mengingatkan bahwa kami pernah shalat berjamaah diimami oleh Bapak. Bapak?! Satu kata itu berhasil menghentak menyadarkanku bahwa sudah lama Mama menyendiri, menjadi Ine sekaligus Bapak bagi kami. Duhai Allah.. masa iya aku hanya mencuci, lalu kuanggap aku sudah melakukan sesuatu untuknya.

Seusai maghrib dan sejenak merayu sang pemillik jiwa, Mama memilih melanjutkan beristighafar sekaligus melakukan pekerjaannya mengikat benang dengan daun gebang untuk membentuk motif tertentu. Di saat seperti itu kami hanya diperkenankan membantu dalam bentuk yang tak biasa, tunggui ‘isya.

‘Abdullah dan Atik memilih bersama-sama berbicara dengan Allah, Jibran mengulang-ngulang hafalan juz 30 yang ia mulai beberapa waktu lalu saat ada tawaran kuliah free dari sebuah Yayasan. Dan, aku hanya menyimak.

Bersamaan ketika Jibran sampai pada ayat terakhir Al Ikhlash, kudengar juga suara ‘Abdullah dan Atik sampai pada Asy Syura ayat 11. Kuperhatikan terjemahan ayat yang dibaca oleh keduanya. Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenismu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Mahamendengar dan Melihat.

Seperti langit yang masih menumpahkan airnya, rasanya aku pun tak lagi mampu membendung kata-kata yang bergerombol berlari dari otakku mendesak agar lisanku mengucapkannya. Kutunggu hingga adik-adikku menyelesaikan bincangnya dengan Allah.

 “sebelum Mama ke sini untuk shalat ‘isya..” ucapku berusaha menarik perhatian mereka bertiga.

“Selagi masih hujan, dan bukankah Allah membanggakan hambaNya yang sedang menanti waktu shalat kepada para penghuni langit? semoga termasuk kita..” aku menjeda ucapanku. Membiarkan mereka mencerna kalimatku.

“kita tidak akan bisa memberi apa-apa untuk Mama. Selama ini malah segunung hutang yang kita hadirkan di pundak Mama.. Seujung kuku pun mustahil kita balas jasa mama. Ulang tahun kita saja, kita tidak bisa memberi yang berarti untuk Mama. Sebentar lagi ulang tahun mama”

Diam.

“Kita masih punya Allah. Hanya Dia yang tidak bosan kalau kita minta. Semoga Allah memampukan kita memberi hadiah mama bertamu ke RumahNya”

“Aamiin” segera ketiganya menyambut ucapanku.

“Allahumma shalli ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala Sayyidinaa Muhammmad” bersamaan kami menitipkan shalawat untuk Nabi agar harapan kami menembus langit menjumpai Dia Yang Mahabaik, Sang Raja Yang Tak Berpasangan.

“Allahumma shalli ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala Sayyidinaa Muhammmad” masing-masing kami saling bersahutan menanggapi nama Nabi disebut dalam shalawat karena tak ingin dikata pelit oleh Nabi. Menunggu ‘isya dan mengunci rapat harapan kami agar hanya kembali ke bumi dalam wujud hadiah untuk Mama.

***

Sirine meraung-raung menangis sepanjang jalan. Memaksa berhenti semua kendaraan yang melaju berlawanan arah dengan berpuluh mobil dan motor yang menjadi rombongan besar mengekori sebuah mobil putih yang terus membunyikan sirine itu. Seisi kelasku berhamburan. Tanpa aba-aba. Aku pun keluar. Pelan kususuri teras kelas, mengantar rombongan itu dengan hatiku yang tiba-tiba berbisik. Sebuah rasa yang sulit kujabarkan. Namun, aku tau sudah tersedia jawabannya dan Allah sedang membuatku berdo’a agar kelak Mama menjadi seperti anggota rombongan itu. Rombongan haji.

***

Ah, ternyata hari-hari itu bermukim di kalender tahun 2018. Kini aku sudah di penghujung 2021. Dua tahun lalu, kurasa itu pasangan harapan Mama, Allah meluluskanku dalam tes CPNS. Tempat tugasku jauh dari Mama. Pandemi dan segenap rentetan akibatnya membuatku harus menahan diri.

Saat ini aku hanya bisa menatap seember pakaian kotor milikku sendiri. Kubuang pandanganku ke utara lalu ke selatan. Kelabu. Sebentar kulirik langit timur walau terhalang pohon-pohon, harapku ada silau mentari kudapat. Nyatanya tidak. Barat pun tak ubahnya si timur yang menjadi pasangannya. Bunga dalam pot didekatku juga tak luput disorot oleh netraku. Kembang bunga itu menyembunyikan ovulum di dasarnya. Semua memang berpasangan. Hujan? Pandemi?

Hujan pasangannya terik, ‘kan? Sakit pasangannya sehat. Pandemi ini pasti berlalu dan bertukar tempat dengan pasangannya yaitu keadaan normal. Mm... bisa saja jawabanku ya?

“Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” hembusan angin membawa suaraku berkelana termasuk juga ke telingaku sendiri.

“Kamu mau? Kalau kamu mau, Ibu kasi untuk kamu dan Mamamu” di sela obrolan, seorang rekan yang bertandang ke kosku sepulang dari madrasah kemarin tiba-tiba melemparku dengan pertanyaan yang tak kumengerti.

“Umrah” ia menjawab pertanyaan yang tergambar di wajahku.

Aku hanya tersenyum. Kurasa ada bagian yang tersingkap.

Pikiranku kembali ke ayat yang sangat familiar, Q.S Yaasin ayat 36. Tiap do’a juga pasti memiliki pasangannya masing-masing. Semoga pandemi ini segera berakhir. Semoga perjalanan haji akan kembali terlaksana. Semoga kelak kami berkesempatan membersamai mama menjadi tamuNya.

Bagaimanapun caranya biarlah Dia yang Mengatur segalanya. Tugasku hanya satu, meminta pada Dia yang Mahahebat lagi tiada sesuatu pun yang setara denganNya. Sambil terus kusematkan keyakinan di hati bahwa dalam rupa apapun dan tak terbatas waktu, semua pinta akan terjawab. Karena.. Hanya Dia yang tak berpasangan.

 

Keterangan:

Ine jo1 : Ibuku

ja’o2 : saya, aku

Ine3 : Ibu, Mama

Rabu, 01 Juni 2022

Tak hanya kata

Andai cinta tak perlu bukti

Andai tanpa pekerti

'kan kukatakan pada dunia

aku mencintai dia dan dia



@Ende, 2014

Sabtu, 05 Maret 2022

Jembatan bertangga menuju si Mayor

Judul                  : Menjadi Penulis Buku Mayor

Resume ke-        : 21

Gelombang        : 24

Tanggal              : Jumat, 4 Maret 2022

Narasumber       : Joko Irawan Mumpuni

 



Assalaamu 'alaykum.

Salam sejahtera untuk kita semua, kawan.

Pintu ditutup. Kala angka 18.57 terpampang di pojok kiri atas layar ponselku. Penuh rencana. Disiplin.

Menit berikutnya...

"Don’t be afraid to move, because the distance of 1000 miles starts by a single step." Kalimat pembuka yang manis. Sebuah pesan. Cukup Panjang. Motivator.

~widyaalthabisma. Pengirimnya. Terus kupandangi deretan huruf dalam pesan yang bermunculan dari pengirim yang sama.

“Keren” aku bergumam sendiri membayangkan segala tentangnya.

Ya. Widya Setianingsih, namanya. Sang moderator yang kali ini membersamai para juniornya, peserta BM 23-24. Ia mendampingi narasumber luar biasa yang saat kubaca CV nya membuatku bengong. Teman-teman bisa lihat nih...


Kesempatan kali ini narasumber beranama lengkap Joko Irawan Mumpuni tersebut mengajarkan cara agar kita bisa MENJADI PENULIS BUKU PENERBIT MAYOR. Just believe, teman-teman.

Rajinlah berlatih menulis, As!. Aku seperti mendengar sebuah bisikan. Padahal aku sendiri.

Eit, tidak perlu takut. Yang penting sekarang adalah kita cari tau apa saja syarat agar tulisan kita diterima oleh penerbit mayor?

“Sebelum teknologi informasi berkembang pesat seperti sekarang ini; orang hanya mengenal penerbit Mayor dan penerbit Minor, masing-masing punya pendapat masing-masing apa yang membedakan penerbit mayor dan penerbit minor. Namun semua pendapat itu merujuk pada satu kesimpulan yang pasti yaitu Jumlah terbitan buku pertahun penerbit mayor jauh lebih banyak dibanding penerbit minor. berapa jumlahnya? masing-masing punya pendapat sendiri.” Pak Joko mulai mejelaskan materinya.

Ternyata terdapat ribuan penerbit di Indonesia. Namun, jumlah penerbit mayor tidak lebih dari 20 dan penerbit ANDI adalah salah satu penerbit mayor, teman-teman.

Menjadi sebuah prestise besar bila tulisan kita bisa menembus penerbit mayor. Penulis merasa lebih bangga jika karyanya diterbitkan oleh penerbit mayor, kenapa?

Tentu karena naskah karyanya akan dikelola lebih profesional, penerbit mayor biasanya punya fasiliatas lebih baik, modal, percetakan, SDM juag jaringan pemasaran yang lebih luas.

So, agar karyanya bisa diterima dan diterbitkan oleh penerbit mayor harus melalui sleksi dengan tingkat persaingan yang amat sangat ketat. Contoh di Penerbit ANDI, naskah yang masuk bisa mencapai 300 hingga 500 naskah per bulan, tapi yang diterbitkan hanya 50 sd 60 judul saja. tentunya sisanya dikembalikan ke penulis alias DITOLAK.

Satu kata terakhir tadi agak terrible ya, teman-teman?

“Karena begitu sulitnya menembus penerbit profesional baik yang penerbit minor apalagi penerbit mayor, maka para penulis ada yang menerbitkan karyanya sendiri yang saat ini penerbit seperti ini kitas sebut dengan Pnerbit Indie” papar Pak Joko.

Dan hal tersebut adalah angin segar, memberi harapan bagi kita bahwa selalu ada kesempatan untuk belajar sambil mengukir kisah pendakian mimpi.

“saya yakin semua sudah ada dilavel paling atas... hanya kurang PD atau kurang nekad aja sehingga karyanya nggak muncul muncul.” Pak Agus sungguh sedang memotivasi kita, teman-teman.

Na, satu yang perlu kita sadari ialah bahwa penerbitan adalah Badan Usaha yang mencari keuntungan dngan melibatkan banyak pihak yang kesemuanya penting.

Yang kemudian bila disederhanakan akan kita dapati ekosistem penerbitan.

Sementara di bawah ini hal-hal yang menyebabkan literasi di Indonesia masih rendah dibandingkan dngan negara-negara tetangga.

Selanjutnya Pak Joko pun menggambarkan ciri-ciri penerbit yang baik, yakni:

1.       Memiliki visi dan yang jelas

2.       Memiliki Bussines core lini produk tertentu

3.       Pengalaman penerbit

4.       Jaringan pemasaran

5.       Memiliki percetakan sendiri

6.       Keberanian mencetak jumlah eksemplar

7.       Kejujuran dalam pembayaran royalty.

 

Rupanya ini poin yang menjadi syarat agar naskah kita diterbitkan oleh Penerbit Mayor. Yuk, teman-teman perhatikan kriteria dan system penilaiannya di bawah ini.



Oleh Pak Agus dijelaskan pula cara penerbit mengecek apakah penulis tersebut Populer. Penerbit akan melacak profil penulis dari berbagai sumber:

1.       Berapa banyan teman/pengikut disosial media

2.       Seberapa aktif di grup yang diikuti akan lebih baiki kalau penulis ini sebgai adminnya dengan jumlah anggota ratusan ribu.

3.       Apakah penulis ini punya blog sendiri dan seberapa aktif dan bagimana respon pembacanya.

4.       Google Scholar adalah yang paling dicermati oleh Penertbit.

 

Bahkan beliau kemudian menyarankan kita agar segera membuat akun Google Scholar. Dan Penting pula untuk mencari tema populer sebagai tema yang akan kita tulis. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan google trends.



Mengenai pertanyaan berapa oplah (jumlah cetakan) yang akan dibuat oleh penerbit, jawabnya tergantung dari kwadran berikit ini:

Market lebar artinya banyak dibutuhkan oleh masyarakat, jika itu buku pelajaran maka jumlah siswa/mahasiswanya sangat banyak. Berkaitan dengan itu, perlu disadari bahwa ilmu-ilmu murni akan memiliki lifecycle yang panjang, hingga bertahun-tahun buku itu cetak ulang terus karena laku dan tidak perlu direvisi.

“Pertanyan lain yang sering muncul adalah Peneribit ANDI memakaigaya selingkung apa? Pada umumnya penerbit memakai gaya selingkung semua yang ada didunia” tulis Pak Joko.

Na, satu rahasia yang harus diketahui adalah penerbit menyukai penulis idealis-industrialis.

Begini penjelasan Pak Joko, teman-teman…


 


Dan di bagian akhir pemaparan materinya, Pak Joko memberikan ‘jalan’ untuk kita, teman-teman.

Bersama Bu Widya yang juga senantiasa mengobarkan semangat untuk maju, Pak Joko pun memantik segenap peserta BM 23-24 dengan 3 ‘mantra’, mood booster keren. Terima kasih.



Riung, 5 Maret 2022.





Sampai Ketemu Lagi

Sampai ketemu lagi. "Kak As, nanti saya telpon ya" Aku menjwabnya dengan senyuman. "Sampai ketemu lagi, kak" ia pu...