Bismillahirrahmaanirrahiym, alladziy innahuu kaana biy hafiyyaa.
Heni Mulyati, M.Pd menjadi narasumber perempuan pertama
sejak kelas Guru Motivator Literasi Digital (GMLD) dibuka pada akhir Oktober lalu.
Rasanya lebih pas bila narasumber cantik pada pertemuan kali ini kusebut dengan
Kak Heni. Beliau didampingi oleh Pak Muliadi selaku moderator yang kemudian juga
dibantu oleh Pak Dail dan Bu Rosminiyati.
Kok begitu? Ya, karena selisih waktu yang mana Pak Muliadi berdomisili
di Indonesia Timur dengan ketentuan waktu Indonesia Tengah (WITA) sedangkan Tim
GMLD lainnya serta waktu pelaksanaan kelas GMLD telah dijadwalkan berlangsung
selama 2 jam dalam Waktu Indonesia Barat (WIB).
Materi yang disampaikan oleh kak Heni via WA Grup ini merupakan
suatu materi yang sangat penting untuk kita ketahui, yakni Strategi menangkal
Hoaks. Pada awal pembukaannya, Pak Muliadi mengungkapkan sebuah harapan besar bahwa
bertepatan dengan peringatan hari pahlawan pada Rabu, 10 November 2021 ini
semoga kita semua menjadi guru-guru motivator yang mewarisi jiwa kepahlawanan
para pejuang dan founding fathers kita. sehingga Insya Allah dengan bekal
pengetahuan dan pengalaman serta latihan yang serius melalui kegiatan GMLD,
kita dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab sebagai garda terdepan dalam
menyiapkan generasi emas Indonesia di
tahun 2045 di tengah tantangan era disrupsi 4.0.
Selanjutnya pada bagian penyampaian materi, Kak Heni
membagikan banyak ilmu kepada para peserta grup GMLD. Dimulai dengan
bernostalgia tentang perkembangan media informasi beberapa dasawarsa lalu. Di mana
media informasi sebelumnya sebatas koran, radio dan televisi serta alat
telekomunikasi berupa telepon dengan beragam rupa namun terbatas adanya hanya pada
orang-orang berpunya ataupun adanya di warung telepon (wartel). Ditambah pula kisah
surat yang lama berkelana hingga akhirnya tukang POS bertandang ke rumah kita.
Narasumber yang memiliki seabrek pengalaman sebagai
pembicara handal dalam berbagai forum tersebut juga memaparkan bahwa semua
keadaan itu kini berubah. Saluran TV apa pun kini ada di genggaman. Bahkan banyak
orang yang menjelma menjadi miliarder karena memiliki channel you tube (atau ibaratnya
bisa disebut juga saluran TV sendiri). Dapat dipahami bahwa saat ini setiap
orang adalah pembuat, penyebar, dan pengguna informasi.
Perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi tersebut tentu memberi kemudahan bagi kita. Namun, ada sisi lain yang perlu menjadi perhatian bersama, yaitu peredaran hoaks di masyarakat. Sebagai salah satu organisasi periksa fakta di Indonesia, Mafindo menemukan 2.298 hoaks selama tahun 2020. Sejumlah hoaks tersebut beredar melalui berbagai jejaring media sosial seperti terlihat pada diagram berikut.
Oleh karena itu penting bagi kita untuk memiliki kemampuan periksa fakta yang cukup agar kita bisa membedakan antara informasi yang benar dan hoaks. Jangan sampai kita terjebak dalam banjir informasi yang terjadi di sekeliling kita. Ada beberapa situasi yang perlu kita sadari terkait dengan banjir informasi, yaitu:
- Era
Post Truth.
Istilah
post-truth menggambarkan situasi Ketika hoaks memiliki pengaruh yang jauh lebih
besar dibandingkan fakta yang sebenarnya.
- Matinya
kepakaran.
Banyak
informasi di media sosial yang dijadikan rujukan tanpa melihat kompetensi
penulis informasi tersebut. Apalagi di tengah pandemi covid 19 seperti saat ini
kita perlu mewaspadai matinya kepakaran. Sebab banyak bermunculan orang dengan latar
belakang A namun memberikan pandangan tentang bidang lainnya. Atau bukan ahli
kesehatan, namun merasa paling tahu bidang kesehatan.
- Filter
bubble dan echo chamber
Filter bubble mengacu pada data ataupun history
pengguna. Sementara echo chamber berdasarkan informasi antar pengguna. Kita berada
di ruang digital yang membuat diri kita berada dalam lingkaran yang sama dan
informasi yang masuk cenderung sama dan berulang. Dampaknya lingkaran kita
terbatas pada orang-orang yang satu ide saja.
Sampai di sini... apa
sih hoaks sebenarnya?
Hoaks berasal dari kata hocus yang berarti mengelabui atau menipu, dan hocus pocus yang berarti celoteh tanpa arti utntuk mengelabui. Sehingga hoaks dapat diartikan sebagai informasi yang sesungguhnya tidak benar, tapi dibuat seolah-olah benar. Di bawah ini beberapa contoh hoaks.
- Kemampuan literasi digital dan berpikir kritis
yang belum merata
- Polarisasi masyarakat
- Belum cakap memilah informasi dan minimnya
kemampuan periksa fakta
Di samping itu, ada banyak
alasan seseorang menyebarkan hoaks. Di antaranya ialah ingin menjadi paling
update, iseng, hingga motif ekonomi. Bahkan ada orang-orang yang membuat situs
tertentu yang isinya provokatif. Yang mana ketika orang mengunjungi situs
tersebut, maka pembuat situs akan mendapatkan keuntungan ekonomi (click bait). Sedangkan
kita justru mendapat perpecahan dan lain sebagainya.
Dampak lain adanya hoaks ialah masyarakat akan semakin
bingung membedakan informasi yang dapat dipercaya dan sebaliknya. Bahkan dapat
pula terjadi terlambat penanganan medis hingga hilangnya nyawa karena informasi
yang salah. Hm.. akibat percaya hoaks, nyawa melayang.
Mengingat betapa berbahayanya
hoaks, Mafindo merekomendasikan untuk menggunakan rujukan media kredibel ataupun
anggota dewan pers sebagai sumber informasi. Dan, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui ciri-ciri informasi hoaks, diantaranya
sebagai berikut:
- Sumber
informasi tidak jelas
- biasanya
bangkitkan emosi
- kelihatan
ilmiah namun salah
- isinya
sembunyikan fakta dan
- minta
diviralkan
Keren...ibu..suka sekali dengan resumenya....
BalasHapus