Jumat, 12 November 2021

Strategi Menangkal Hoaks



Bismillahirrahmaanirrahiym, alladziy innahuu kaana biy hafiyyaa.

Heni Mulyati, M.Pd menjadi narasumber perempuan pertama sejak kelas Guru Motivator Literasi Digital (GMLD) dibuka pada akhir Oktober lalu. Rasanya lebih pas bila narasumber cantik pada pertemuan kali ini kusebut dengan Kak Heni. Beliau didampingi oleh Pak Muliadi selaku moderator yang kemudian juga dibantu oleh Pak Dail dan Bu Rosminiyati.

Kok begitu? Ya, karena selisih waktu yang mana Pak Muliadi berdomisili di Indonesia Timur dengan ketentuan waktu Indonesia Tengah (WITA) sedangkan Tim GMLD lainnya serta waktu pelaksanaan kelas GMLD telah dijadwalkan berlangsung selama 2 jam dalam Waktu Indonesia Barat (WIB).

Materi yang disampaikan oleh kak Heni via WA Grup ini merupakan suatu materi yang sangat penting untuk kita ketahui, yakni Strategi menangkal Hoaks. Pada awal pembukaannya, Pak Muliadi mengungkapkan sebuah harapan besar bahwa bertepatan dengan peringatan hari pahlawan pada Rabu, 10 November 2021 ini semoga kita semua menjadi guru-guru motivator yang mewarisi jiwa kepahlawanan para pejuang dan founding fathers kita. sehingga Insya Allah dengan bekal pengetahuan dan pengalaman serta latihan yang serius melalui kegiatan GMLD, kita dapat memenuhi tugas dan tanggung jawab sebagai garda terdepan dalam menyiapkan  generasi emas Indonesia di tahun 2045 di tengah tantangan era disrupsi 4.0.

Selanjutnya pada bagian penyampaian materi, Kak Heni membagikan banyak ilmu kepada para peserta grup GMLD. Dimulai dengan bernostalgia tentang perkembangan media informasi beberapa dasawarsa lalu. Di mana media informasi sebelumnya sebatas koran, radio dan televisi serta alat telekomunikasi berupa telepon dengan beragam rupa namun terbatas adanya hanya pada orang-orang berpunya ataupun adanya di warung telepon (wartel). Ditambah pula kisah surat yang lama berkelana hingga akhirnya tukang POS bertandang ke rumah kita.

Narasumber yang memiliki seabrek pengalaman sebagai pembicara handal dalam berbagai forum tersebut juga memaparkan bahwa semua keadaan itu kini berubah. Saluran TV apa pun kini ada di genggaman. Bahkan banyak orang yang menjelma menjadi miliarder karena memiliki channel you tube (atau ibaratnya bisa disebut juga saluran TV sendiri). Dapat dipahami bahwa saat ini setiap orang adalah pembuat, penyebar, dan pengguna informasi.

Perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi tersebut tentu memberi kemudahan bagi kita. Namun, ada sisi lain yang perlu menjadi perhatian bersama, yaitu peredaran hoaks di masyarakat. Sebagai salah satu organisasi periksa fakta di Indonesia, Mafindo menemukan 2.298 hoaks selama tahun 2020. Sejumlah hoaks tersebut beredar melalui berbagai jejaring media sosial seperti terlihat pada diagram berikut.

Oleh karena itu penting bagi kita untuk memiliki kemampuan periksa fakta yang cukup agar kita bisa membedakan antara informasi yang benar dan hoaks. Jangan sampai kita terjebak dalam banjir informasi yang terjadi di sekeliling kita. Ada beberapa situasi yang perlu kita sadari terkait dengan banjir informasi, yaitu:

  1. Era Post Truth.

Istilah post-truth menggambarkan situasi Ketika hoaks memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan fakta yang sebenarnya.

  1. Matinya kepakaran.

Banyak informasi di media sosial yang dijadikan rujukan tanpa melihat kompetensi penulis informasi tersebut. Apalagi di tengah pandemi covid 19 seperti saat ini kita perlu mewaspadai matinya kepakaran. Sebab banyak bermunculan orang dengan latar belakang A namun memberikan pandangan tentang bidang lainnya. Atau bukan ahli kesehatan, namun merasa paling tahu bidang kesehatan.

  1. Filter bubble dan echo chamber

Filter bubble mengacu pada data ataupun history pengguna. Sementara echo chamber berdasarkan informasi antar pengguna. Kita berada di ruang digital yang membuat diri kita berada dalam lingkaran yang sama dan informasi yang masuk cenderung sama dan berulang. Dampaknya lingkaran kita terbatas pada orang-orang yang satu ide saja.

Sampai di sini... apa sih hoaks sebenarnya?

Hoaks berasal dari kata hocus yang berarti mengelabui atau menipu, dan hocus pocus yang berarti celoteh tanpa arti utntuk mengelabui. Sehingga hoaks dapat diartikan sebagai informasi yang sesungguhnya tidak benar, tapi dibuat seolah-olah benar. Di bawah ini beberapa contoh hoaks.



Lalu pertanyaannya, mengapa masih ada yang percaya hoaks? Beberapa alasannya ialah:

  1. Kemampuan literasi digital dan berpikir kritis yang belum merata
  2. Polarisasi masyarakat
  3. Belum cakap memilah informasi dan minimnya kemampuan periksa fakta

Di samping itu, ada banyak alasan seseorang menyebarkan hoaks. Di antaranya ialah ingin menjadi paling update, iseng, hingga motif ekonomi. Bahkan ada orang-orang yang membuat situs tertentu yang isinya provokatif. Yang mana ketika orang mengunjungi situs tersebut, maka pembuat situs akan mendapatkan keuntungan ekonomi (click bait). Sedangkan kita justru mendapat perpecahan dan lain sebagainya.

Dampak lain adanya hoaks ialah masyarakat akan semakin bingung membedakan informasi yang dapat dipercaya dan sebaliknya. Bahkan dapat pula terjadi terlambat penanganan medis hingga hilangnya nyawa karena informasi yang salah. Hm.. akibat percaya hoaks, nyawa melayang.

Mengingat betapa berbahayanya hoaks, Mafindo merekomendasikan untuk menggunakan rujukan media kredibel ataupun anggota dewan pers sebagai sumber informasi. Dan, menjadi penting bagi kita untuk mengetahui  ciri-ciri informasi hoaks, diantaranya sebagai berikut:

  1. Sumber informasi tidak jelas
  2. biasanya bangkitkan emosi
  3. kelihatan ilmiah namun salah
  4. isinya sembunyikan fakta dan
  5. minta diviralkan

Selanjutnya langkah tepat untuk menangkal hoaks adalah periksa fakta!. Kita perlu merasa skeptis atau curiga dulu atas informasi yang diterima, tidak langsug percaya ketika mendapat sebuah informasi meskipun hal tersebut dari orang yang kita kenal. Telusuri dan Periksa faktanya. Caranya?



Berikut ini cara cek hoaks menggunakan chatbot WhatsApp



Sebagai penutup, kak Heni membagikan rujukan bagi kita untuk belajar lebih lanjut mengenai literasi digital diantaranya: www.literasidigital.id atau juga www.tularnalar.id. “hendaklah Bijak gunakan media digital. Apa yang kita unggah akan tinggalkan jejak. Periksa faktanya dulu.” Demikian Kak Heni mengakhiri pertemuan di kelas GMLD hari itu.
😊

1 komentar:

Sampai Ketemu Lagi

Sampai ketemu lagi. "Kak As, nanti saya telpon ya" Aku menjwabnya dengan senyuman. "Sampai ketemu lagi, kak" ia pu...