Angin pagi membelaiku lembut. Tak hanya sejuk, kadang ia bisa begitu menusuk menelisik masuk menerobosi sel-sel kulit terluar.
Aku
ingat kataNya. Bertasbihlah di waktu pagi dan petang. Sebuah perintah. To
the point, sederhana, jelas, begitu lugas tertulis dalam surat cintaNya
untuk kita. Di surah yang terkenal, Al Ahzab. Ayat 42.
Aku
ingin bersama angin yang menari memujiNya.
“Subhanallah
wa bihamdihi subhanallah al ‘azhiym” selembut belaian angin, aku berbisik, mesra.
Sementara kedua tanganku terus menari mengucek pakaian yang kucuci. Ya, setiap
pagi aku berusaha membantu Mama. Pilihanku seringkali jatuh pada seember cucian
berkomposisi pakaian kami berlima, aku, ketiga adikku juga mama.
Aku
juga jadi ingat cerita yang disampaikan langsung seorang alim di daerahku. Laksana
mentari di balik segepok awan yang dalam seketika siap menumpahkan mata airnya,
sang alim dengan binar ceria di netranya memperkuat medan magnet dengan
lengkungan bibirnya menyampaikan cerita
tentang dirinya dan sepasang pakaian kotor seorang wanita. Teduh. Namun,
hangat. Seusai dhuha berjamaah di lapangan futsal madrasah pada hari istighasah
sebelum ujian akhir kelas XII beberapa tahun lalu.
“saya
di rumah beserta isteri…” sang alim tersebut memulai ceritanya.
“pakaian
saya bisa saya cuci sendiri. Silahkan kalau dicuci oleh isteri saya atau
diserahkan ke jasa cuci. Tidak
jadi soal bagi saya” ia berhenti agak lama sambil melempar pandangan ke arah
para jamaahnya.
Ia bahkan sengaja membuat kami sedikit menunggu dalam
terkaan tentang sepasang pakaian kotor itu.
“yang
saya mau adalah sepasang pakaian kotor incaran saya. Harus saya yang
mencucinya. Saya ingin selalu menjadi pencuci sepasang pakaian kotor dari
seorang wanita itu setiap harinya. Alhamdulillah, saudara-saudaraku sekalian…
ada surga di rumah saya” ungkapnya membuatku kian larut dalam urusan
tebak-menebak di benakku.
“Alhamdulillah, Ine jo1 masih ada.
Allah masih memberi kesempatan kepada ja’o2 untuk membersamai
Ine3 dan menjadi tukang cucinya” mata air di mataku menumpahkan
genangan airnya begitu saja ketika itu.
“Af, sini..” suara mama sedikit mengagetkanku.
“jangan sampai kamu terlambat ke MA. Biar sini mama
lanjutkan”
Aku menggeleng. “Af sudah mandi tadi sebelum shubuh,
Mama” kilahku cepat sebelum mama semakin dekat ke arahku.
Yang
tersisa di ember itu pakaianku. Nihil dong, kalau pakaian mama sudah kucuci,
tapi pakaianku sendiri dicuci oleh mama. Tidakkah sudah cukup berpuluh tahun
mama melakukan semuanya untukku juga adik-adikku. Sebuah tanya yang tak perlu disuarakan.
Tirai
malam sepenuhnya telah disingsingkan oleh pipi gembul sang mentari yang perlahan
namun pasti terus menapaki kaki langit mengobarkan kemenangan benderang
dirinya. Aku pun telah menyelesaikan tugasku. Kesadaran hasil mengimitasi
perbuatan sang alim terhadap Ine-nya.
“Mama,
Af berangkat dulu” Kuraih tangan mama dan menghirup keberkahan yang Allah
selipkan di gurat kasar tangan lelah itu.
“Do’akan
Af ya, Mama” bisikku pelan sebelum berpaling keluar rumah. “Assalaamu ‘alaykum”
Tak kudengar suaranya. Tapi aku tau ia pasti menjawab
salamku. Karena dirinya yang mengajari aku dan adik-adikku untuk ‘mencuri’
salam. Aku juga tau, sepenuh hatinya ia selalu mendo’akan kami, melangitkan
berjuta harapan walau tanpa kata.
“Ibu…”
Bisik tasbihku terhenti. Seseorang mencegahku di depan
pintu gerbang. Aku hanya melihatnya beberapa saat sebelum berlalu ke ruang guru
dan mengucapkan salam. Agar ia tersadar bahwa ia telah menghadangku tanpa salam
pula.
Detik memang tak betah berdiam diri, bergulir tanpa
henti hingga akhirnya aku berada dalam kelas yang hening karena semua sedang
menyalin pembahasan penyelesaian soal latihan yang kutorehkan di papan.
“Jadi bagaimana, Bu?” seorang anak lelaki berwajah
bulat, putih kulitnya begitu kontras dengan rambutnya yang pekat hitam lagi
tebal dan klimis. Ia yang tadi pagi meminta sedikit waktu di akhir jam
pelajaranku.
Aku mengangguk. Menyisakan beberapa menit untuk anak
itu.
Cala, namanya. Ia membagikan jajan kepada semua warga
kelas yang kemudian masing-masing melontarkan ucapan selamat ulang tahun.
Aku memperhatikan tingkah mereka. Menyadari bahwa
selama ini secara tak langsung Mama memberi kami pelajaran besar. “Jangan berharap
pemberian orang lain. Sakit, marah, kecewa sendirilah yang akan didapat bila
nyatanya tak diberi” kira-kira demikian kalau dibahasakan.
Menunggu
orang lain memberi kita hadiah apalagi di saat kita berulang tahun? No, justru
saat kita berulang tahun, kitalah yang harus memberikan hadiah. Tentu bukan
hanya sekedar seperti si Cala yang kulihat itu. Namun, selama Allah masih
mengembalikan ruh kita saat bangun tidur hingga takdir pun mengantar kita
bersua dengan hari lahir kita.. yang paling berhak mendapat kado hadiah ulang
tahun adalah Mama, sang Ine.
Bahkan sebentar lagi tanggal lahir Mama tiba di depan
mata. Bertetangga dengan tanggal pulangnya Bapak pada Allah. Apa
yang bisa kuberikan untuk Mama? Mencuci? Hanya secuil bantuan. Bukan sesuatu
yang berarti. Wajah Atik, Mat, dan Jibran melintas di benakku begitu saja.
Bel berteriak berdentang tiga kali berhasil menghalau
pergi wjah ketiga adikku. Waktuku selesai. Aku pun meninggalkan kelas dengan
membawa oleh-oleh sebuah pertanyaan penting yang harus segera kujawab bukan
hanya dalam kata. Semua aktivitasku selanjutnya tak lepas
dari gaung pertanyaan itu.
“Kak
Af, Mama bilang, sampaikan ke kakak. Bulan depan, saya kembali ke Makassar..”
kalimatnya terhenti.
Aku
tau arah pembicaraannya. Adikku yang satu itu sarat rasa bernama malu. Begitulah. Kami memang terbiasa dan berusaha tidak
meminta pada orang. Sesuatu yang kami tangkap dari kebiasaan Mama, tersalin
otomatis dalam diri kami masing-masing.
Aku mengangguk. “..’Abdullah, ..” sengaja lengkap
kusebut namanya. Cukup lama kugantungkan kalimatku di udara, berharap ia mengerti
beratnya menjadi Mama.
“Kuliah yang benar. Ingat Mama” Hanya itu yang
berhasil keluar dari mulutku.
Sementara adik perempuanku, si nomor dua, takkan
mungkin bisa bicara padaku tentang hal semacam itu. Yang disampaikan oleh
‘Abdullah telah mewakili dirinya juga. Dan akhirnya, aku akan lebih sering
berbicara pada si bungsu, meminta tolong padanya agar bersabar. Menunggu
antrian hingga kedua kakaknya selesai, barulah ia masuk kuliah.
Langit sore itu seakan tak kunjung habis air matanya.
Sedangkan di ufuk barat tampak semburat jingga yang tak sempurna terbalut
selimut kelabu. Maghrib di rumah. Jibran menyerukan adzan,
Mat yang meingamami kami. Aku sebenarnya lebih suka menyebut sang Imam besar di
rumah kami itu dengan nama aslinya, ‘Abdullah.
Shalat
berjama’ah di rumah seperti kali itu selalu membawaku pulang ke waktu berpuluh
tahun lalu. Mengingatkan bahwa kami pernah shalat berjamaah diimami oleh Bapak.
Bapak?! Satu kata itu berhasil menghentak menyadarkanku bahwa sudah lama Mama menyendiri,
menjadi Ine sekaligus Bapak bagi kami. Duhai Allah.. masa iya aku hanya
mencuci, lalu kuanggap aku sudah melakukan sesuatu untuknya.
Seusai
maghrib dan sejenak merayu sang pemillik jiwa, Mama memilih melanjutkan
beristighafar sekaligus melakukan pekerjaannya mengikat benang dengan daun
gebang untuk membentuk motif tertentu. Di saat seperti itu kami hanya
diperkenankan membantu dalam bentuk yang tak biasa, tunggui ‘isya.
‘Abdullah
dan Atik memilih bersama-sama berbicara dengan Allah, Jibran mengulang-ngulang
hafalan juz 30 yang ia mulai beberapa waktu lalu saat ada tawaran kuliah free
dari sebuah Yayasan. Dan, aku hanya menyimak.
Bersamaan
ketika Jibran sampai pada ayat terakhir Al Ikhlash, kudengar juga suara
‘Abdullah dan Atik sampai pada Asy Syura ayat 11. Kuperhatikan terjemahan ayat
yang dibaca oleh keduanya. Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi
kamu dari jenismu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak
pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu.
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Mahamendengar dan
Melihat.
Seperti
langit yang masih menumpahkan airnya, rasanya aku pun tak lagi mampu membendung
kata-kata yang bergerombol berlari dari otakku mendesak agar lisanku
mengucapkannya. Kutunggu
hingga adik-adikku menyelesaikan bincangnya dengan Allah.
“sebelum Mama ke sini
untuk shalat ‘isya..” ucapku berusaha menarik perhatian mereka bertiga.
“Selagi
masih hujan, dan bukankah Allah membanggakan hambaNya yang sedang menanti waktu
shalat kepada para penghuni langit? semoga termasuk kita..” aku menjeda
ucapanku. Membiarkan mereka mencerna kalimatku.
“kita tidak akan bisa memberi apa-apa untuk Mama. Selama
ini malah segunung hutang yang kita hadirkan di pundak Mama.. Seujung kuku pun
mustahil kita balas jasa mama. Ulang tahun kita saja, kita tidak bisa memberi
yang berarti untuk Mama. Sebentar lagi ulang tahun mama”
Diam.
“Kita masih punya Allah. Hanya
Dia yang tidak bosan kalau kita minta. Semoga Allah memampukan kita memberi
hadiah mama bertamu ke RumahNya”
“Aamiin”
segera ketiganya menyambut ucapanku.
“Allahumma
shalli ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala Sayyidinaa Muhammmad” bersamaan kami
menitipkan shalawat untuk Nabi agar harapan kami menembus langit menjumpai Dia Yang
Mahabaik, Sang Raja Yang Tak Berpasangan.
“Allahumma
shalli ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala Sayyidinaa Muhammmad” masing-masing kami
saling bersahutan menanggapi nama Nabi disebut dalam shalawat karena tak ingin
dikata pelit oleh Nabi. Menunggu ‘isya dan mengunci rapat harapan kami agar hanya
kembali ke bumi dalam wujud hadiah untuk Mama.
***
Sirine
meraung-raung menangis sepanjang jalan. Memaksa berhenti semua kendaraan yang
melaju berlawanan arah dengan berpuluh mobil dan motor yang menjadi rombongan
besar mengekori sebuah mobil putih yang terus membunyikan sirine itu. Seisi
kelasku berhamburan. Tanpa aba-aba. Aku pun keluar. Pelan kususuri teras kelas,
mengantar rombongan itu dengan hatiku yang tiba-tiba berbisik. Sebuah rasa yang
sulit kujabarkan. Namun, aku tau sudah tersedia jawabannya dan Allah sedang
membuatku berdo’a agar kelak Mama menjadi seperti anggota rombongan itu.
Rombongan haji.
***
Ah,
ternyata hari-hari itu bermukim di kalender tahun 2018. Kini aku sudah di penghujung
2021. Dua tahun lalu,
kurasa itu pasangan harapan Mama, Allah meluluskanku dalam tes CPNS. Tempat
tugasku jauh dari Mama. Pandemi dan segenap rentetan akibatnya membuatku harus
menahan diri.
Saat ini aku hanya bisa menatap seember pakaian kotor
milikku sendiri. Kubuang pandanganku ke utara lalu ke selatan. Kelabu.
Sebentar kulirik langit timur walau terhalang pohon-pohon, harapku ada silau
mentari kudapat. Nyatanya tidak. Barat pun tak ubahnya si timur yang menjadi
pasangannya. Bunga dalam pot didekatku juga tak luput disorot oleh netraku.
Kembang bunga itu menyembunyikan ovulum di dasarnya. Semua memang
berpasangan. Hujan? Pandemi?
Hujan
pasangannya terik, ‘kan? Sakit pasangannya sehat. Pandemi ini pasti berlalu dan
bertukar tempat dengan pasangannya yaitu keadaan normal. Mm... bisa saja
jawabanku ya?
“Mahasuci
Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang
ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui” hembusan angin membawa suaraku berkelana termasuk juga ke telingaku
sendiri.
“Kamu
mau? Kalau kamu mau, Ibu kasi untuk kamu dan Mamamu” di sela obrolan, seorang rekan
yang bertandang ke kosku sepulang dari madrasah kemarin tiba-tiba melemparku
dengan pertanyaan yang tak kumengerti.
“Umrah” ia menjawab pertanyaan yang tergambar di
wajahku.
Aku
hanya tersenyum. Kurasa ada bagian yang tersingkap.
Pikiranku
kembali ke ayat yang sangat familiar, Q.S Yaasin ayat 36. Tiap do’a juga pasti memiliki pasangannya
masing-masing. Semoga pandemi ini segera berakhir. Semoga perjalanan haji akan
kembali terlaksana. Semoga kelak kami berkesempatan membersamai mama menjadi
tamuNya.
Bagaimanapun caranya biarlah Dia yang Mengatur
segalanya. Tugasku hanya satu, meminta pada Dia yang Mahahebat lagi tiada
sesuatu pun yang setara denganNya. Sambil terus kusematkan keyakinan di hati
bahwa dalam rupa apapun dan tak terbatas waktu, semua pinta akan terjawab.
Karena.. Hanya Dia yang tak berpasangan.
Keterangan:
Ine jo1 : Ibuku
ja’o2 : saya, aku
Ine3
: Ibu, Mama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar