Senin, 14 November 2022

Hanya Dia Yang Tak Berpasangan

 Angin pagi membelaiku lembut. Tak hanya sejuk, kadang ia bisa begitu menusuk menelisik masuk menerobosi sel-sel kulit terluar.

Aku ingat kataNya. Bertasbihlah di waktu pagi dan petang. Sebuah perintah. To the point, sederhana, jelas, begitu lugas tertulis dalam surat cintaNya untuk kita. Di surah yang terkenal, Al Ahzab. Ayat 42.

Aku ingin bersama angin yang menari memujiNya.

“Subhanallah wa bihamdihi subhanallah al ‘azhiym” selembut belaian angin, aku berbisik, mesra. Sementara kedua tanganku terus menari mengucek pakaian yang kucuci. Ya, setiap pagi aku berusaha membantu Mama. Pilihanku seringkali jatuh pada seember cucian berkomposisi pakaian kami berlima, aku, ketiga adikku juga mama.

Aku juga jadi ingat cerita yang disampaikan langsung seorang alim di daerahku. Laksana mentari di balik segepok awan yang dalam seketika siap menumpahkan mata airnya, sang alim dengan binar ceria di netranya memperkuat medan magnet dengan lengkungan bibirnya menyampaikan  cerita tentang dirinya dan sepasang pakaian kotor seorang wanita. Teduh. Namun, hangat. Seusai dhuha berjamaah di lapangan futsal madrasah pada hari istighasah sebelum ujian akhir kelas XII beberapa tahun lalu.

“saya di rumah beserta isteri…” sang alim tersebut memulai ceritanya.

“pakaian saya bisa saya cuci sendiri. Silahkan kalau dicuci oleh isteri saya atau diserahkan ke jasa cuci. Tidak jadi soal bagi saya” ia berhenti agak lama sambil melempar pandangan ke arah para jamaahnya.

Ia bahkan sengaja membuat kami sedikit menunggu dalam terkaan tentang sepasang pakaian kotor itu.

“yang saya mau adalah sepasang pakaian kotor incaran saya. Harus saya yang mencucinya. Saya ingin selalu menjadi pencuci sepasang pakaian kotor dari seorang wanita itu setiap harinya. Alhamdulillah, saudara-saudaraku sekalian… ada surga di rumah saya” ungkapnya membuatku kian larut dalam urusan tebak-menebak di benakku.

“Alhamdulillah, Ine jo1 masih ada. Allah masih memberi kesempatan kepada ja’o2 untuk membersamai Ine3 dan menjadi tukang cucinya” mata air di mataku menumpahkan genangan airnya begitu saja ketika itu.

“Af, sini..” suara mama sedikit mengagetkanku.

“jangan sampai kamu terlambat ke MA. Biar sini mama lanjutkan”

Aku menggeleng. “Af sudah mandi tadi sebelum shubuh, Mama” kilahku cepat sebelum mama semakin dekat ke arahku.

Yang tersisa di ember itu pakaianku. Nihil dong, kalau pakaian mama sudah kucuci, tapi pakaianku sendiri dicuci oleh mama. Tidakkah sudah cukup berpuluh tahun mama melakukan semuanya untukku juga adik-adikku. Sebuah tanya yang tak perlu disuarakan.

Tirai malam sepenuhnya telah disingsingkan oleh pipi gembul sang mentari yang perlahan namun pasti terus menapaki kaki langit mengobarkan kemenangan benderang dirinya. Aku pun telah menyelesaikan tugasku. Kesadaran hasil mengimitasi perbuatan sang alim terhadap Ine-nya.

“Mama, Af berangkat dulu” Kuraih tangan mama dan menghirup keberkahan yang Allah selipkan di gurat kasar tangan lelah itu.

“Do’akan Af ya, Mama” bisikku pelan sebelum berpaling keluar rumah. “Assalaamu ‘alaykum”

Tak kudengar suaranya. Tapi aku tau ia pasti menjawab salamku. Karena dirinya yang mengajari aku dan adik-adikku untuk ‘mencuri’ salam. Aku juga tau, sepenuh hatinya ia selalu mendo’akan kami, melangitkan berjuta harapan walau tanpa kata.

“Ibu…”

Bisik tasbihku terhenti. Seseorang mencegahku di depan pintu gerbang. Aku hanya melihatnya beberapa saat sebelum berlalu ke ruang guru dan mengucapkan salam. Agar ia tersadar bahwa ia telah menghadangku tanpa salam pula.

Detik memang tak betah berdiam diri, bergulir tanpa henti hingga akhirnya aku berada dalam kelas yang hening karena semua sedang menyalin pembahasan penyelesaian soal latihan yang kutorehkan di papan.

“Jadi bagaimana, Bu?” seorang anak lelaki berwajah bulat, putih kulitnya begitu kontras dengan rambutnya yang pekat hitam lagi tebal dan klimis. Ia yang tadi pagi meminta sedikit waktu di akhir jam pelajaranku.

Aku mengangguk. Menyisakan beberapa menit untuk anak itu.

Cala, namanya. Ia membagikan jajan kepada semua warga kelas yang kemudian masing-masing melontarkan ucapan selamat ulang tahun.

Aku memperhatikan tingkah mereka. Menyadari bahwa selama ini secara tak langsung Mama memberi kami pelajaran besar. “Jangan berharap pemberian orang lain. Sakit, marah, kecewa sendirilah yang akan didapat bila nyatanya tak diberi” kira-kira demikian kalau dibahasakan.

Menunggu orang lain memberi kita hadiah apalagi di saat kita berulang tahun? No, justru saat kita berulang tahun, kitalah yang harus memberikan hadiah. Tentu bukan hanya sekedar seperti si Cala yang kulihat itu. Namun, selama Allah masih mengembalikan ruh kita saat bangun tidur hingga takdir pun mengantar kita bersua dengan hari lahir kita.. yang paling berhak mendapat kado hadiah ulang tahun adalah Mama, sang Ine.

Bahkan sebentar lagi tanggal lahir Mama tiba di depan mata. Bertetangga dengan tanggal pulangnya Bapak pada Allah. Apa yang bisa kuberikan untuk Mama? Mencuci? Hanya secuil bantuan. Bukan sesuatu yang berarti. Wajah Atik, Mat, dan Jibran melintas di benakku begitu saja.

Bel berteriak berdentang tiga kali berhasil menghalau pergi wjah ketiga adikku. Waktuku selesai. Aku pun meninggalkan kelas dengan membawa oleh-oleh sebuah pertanyaan penting yang harus segera kujawab bukan hanya dalam kata. Semua aktivitasku selanjutnya tak lepas dari gaung pertanyaan itu.

“Kak Af, Mama bilang, sampaikan ke kakak. Bulan depan, saya kembali ke Makassar..” kalimatnya terhenti.

Aku tau arah pembicaraannya. Adikku yang satu itu sarat rasa bernama malu. Begitulah. Kami memang terbiasa dan berusaha tidak meminta pada orang. Sesuatu yang kami tangkap dari kebiasaan Mama, tersalin otomatis dalam diri kami masing-masing.

Aku mengangguk. “..’Abdullah, ..” sengaja lengkap kusebut namanya. Cukup lama kugantungkan kalimatku di udara, berharap ia mengerti beratnya menjadi Mama.

“Kuliah yang benar. Ingat Mama” Hanya itu yang berhasil keluar dari mulutku.

Sementara adik perempuanku, si nomor dua, takkan mungkin bisa bicara padaku tentang hal semacam itu. Yang disampaikan oleh ‘Abdullah telah mewakili dirinya juga. Dan akhirnya, aku akan lebih sering berbicara pada si bungsu, meminta tolong padanya agar bersabar. Menunggu antrian hingga kedua kakaknya selesai, barulah ia masuk kuliah.

Langit sore itu seakan tak kunjung habis air matanya. Sedangkan di ufuk barat tampak semburat jingga yang tak sempurna terbalut selimut kelabu. Maghrib di rumah. Jibran menyerukan adzan, Mat yang meingamami kami. Aku sebenarnya lebih suka menyebut sang Imam besar di rumah kami itu dengan nama aslinya, ‘Abdullah.

Shalat berjama’ah di rumah seperti kali itu selalu membawaku pulang ke waktu berpuluh tahun lalu. Mengingatkan bahwa kami pernah shalat berjamaah diimami oleh Bapak. Bapak?! Satu kata itu berhasil menghentak menyadarkanku bahwa sudah lama Mama menyendiri, menjadi Ine sekaligus Bapak bagi kami. Duhai Allah.. masa iya aku hanya mencuci, lalu kuanggap aku sudah melakukan sesuatu untuknya.

Seusai maghrib dan sejenak merayu sang pemillik jiwa, Mama memilih melanjutkan beristighafar sekaligus melakukan pekerjaannya mengikat benang dengan daun gebang untuk membentuk motif tertentu. Di saat seperti itu kami hanya diperkenankan membantu dalam bentuk yang tak biasa, tunggui ‘isya.

‘Abdullah dan Atik memilih bersama-sama berbicara dengan Allah, Jibran mengulang-ngulang hafalan juz 30 yang ia mulai beberapa waktu lalu saat ada tawaran kuliah free dari sebuah Yayasan. Dan, aku hanya menyimak.

Bersamaan ketika Jibran sampai pada ayat terakhir Al Ikhlash, kudengar juga suara ‘Abdullah dan Atik sampai pada Asy Syura ayat 11. Kuperhatikan terjemahan ayat yang dibaca oleh keduanya. Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenismu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan-pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Mahamendengar dan Melihat.

Seperti langit yang masih menumpahkan airnya, rasanya aku pun tak lagi mampu membendung kata-kata yang bergerombol berlari dari otakku mendesak agar lisanku mengucapkannya. Kutunggu hingga adik-adikku menyelesaikan bincangnya dengan Allah.

 “sebelum Mama ke sini untuk shalat ‘isya..” ucapku berusaha menarik perhatian mereka bertiga.

“Selagi masih hujan, dan bukankah Allah membanggakan hambaNya yang sedang menanti waktu shalat kepada para penghuni langit? semoga termasuk kita..” aku menjeda ucapanku. Membiarkan mereka mencerna kalimatku.

“kita tidak akan bisa memberi apa-apa untuk Mama. Selama ini malah segunung hutang yang kita hadirkan di pundak Mama.. Seujung kuku pun mustahil kita balas jasa mama. Ulang tahun kita saja, kita tidak bisa memberi yang berarti untuk Mama. Sebentar lagi ulang tahun mama”

Diam.

“Kita masih punya Allah. Hanya Dia yang tidak bosan kalau kita minta. Semoga Allah memampukan kita memberi hadiah mama bertamu ke RumahNya”

“Aamiin” segera ketiganya menyambut ucapanku.

“Allahumma shalli ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala Sayyidinaa Muhammmad” bersamaan kami menitipkan shalawat untuk Nabi agar harapan kami menembus langit menjumpai Dia Yang Mahabaik, Sang Raja Yang Tak Berpasangan.

“Allahumma shalli ‘ala Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala Sayyidinaa Muhammmad” masing-masing kami saling bersahutan menanggapi nama Nabi disebut dalam shalawat karena tak ingin dikata pelit oleh Nabi. Menunggu ‘isya dan mengunci rapat harapan kami agar hanya kembali ke bumi dalam wujud hadiah untuk Mama.

***

Sirine meraung-raung menangis sepanjang jalan. Memaksa berhenti semua kendaraan yang melaju berlawanan arah dengan berpuluh mobil dan motor yang menjadi rombongan besar mengekori sebuah mobil putih yang terus membunyikan sirine itu. Seisi kelasku berhamburan. Tanpa aba-aba. Aku pun keluar. Pelan kususuri teras kelas, mengantar rombongan itu dengan hatiku yang tiba-tiba berbisik. Sebuah rasa yang sulit kujabarkan. Namun, aku tau sudah tersedia jawabannya dan Allah sedang membuatku berdo’a agar kelak Mama menjadi seperti anggota rombongan itu. Rombongan haji.

***

Ah, ternyata hari-hari itu bermukim di kalender tahun 2018. Kini aku sudah di penghujung 2021. Dua tahun lalu, kurasa itu pasangan harapan Mama, Allah meluluskanku dalam tes CPNS. Tempat tugasku jauh dari Mama. Pandemi dan segenap rentetan akibatnya membuatku harus menahan diri.

Saat ini aku hanya bisa menatap seember pakaian kotor milikku sendiri. Kubuang pandanganku ke utara lalu ke selatan. Kelabu. Sebentar kulirik langit timur walau terhalang pohon-pohon, harapku ada silau mentari kudapat. Nyatanya tidak. Barat pun tak ubahnya si timur yang menjadi pasangannya. Bunga dalam pot didekatku juga tak luput disorot oleh netraku. Kembang bunga itu menyembunyikan ovulum di dasarnya. Semua memang berpasangan. Hujan? Pandemi?

Hujan pasangannya terik, ‘kan? Sakit pasangannya sehat. Pandemi ini pasti berlalu dan bertukar tempat dengan pasangannya yaitu keadaan normal. Mm... bisa saja jawabanku ya?

“Mahasuci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” hembusan angin membawa suaraku berkelana termasuk juga ke telingaku sendiri.

“Kamu mau? Kalau kamu mau, Ibu kasi untuk kamu dan Mamamu” di sela obrolan, seorang rekan yang bertandang ke kosku sepulang dari madrasah kemarin tiba-tiba melemparku dengan pertanyaan yang tak kumengerti.

“Umrah” ia menjawab pertanyaan yang tergambar di wajahku.

Aku hanya tersenyum. Kurasa ada bagian yang tersingkap.

Pikiranku kembali ke ayat yang sangat familiar, Q.S Yaasin ayat 36. Tiap do’a juga pasti memiliki pasangannya masing-masing. Semoga pandemi ini segera berakhir. Semoga perjalanan haji akan kembali terlaksana. Semoga kelak kami berkesempatan membersamai mama menjadi tamuNya.

Bagaimanapun caranya biarlah Dia yang Mengatur segalanya. Tugasku hanya satu, meminta pada Dia yang Mahahebat lagi tiada sesuatu pun yang setara denganNya. Sambil terus kusematkan keyakinan di hati bahwa dalam rupa apapun dan tak terbatas waktu, semua pinta akan terjawab. Karena.. Hanya Dia yang tak berpasangan.

 

Keterangan:

Ine jo1 : Ibuku

ja’o2 : saya, aku

Ine3 : Ibu, Mama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampai Ketemu Lagi

Sampai ketemu lagi. "Kak As, nanti saya telpon ya" Aku menjwabnya dengan senyuman. "Sampai ketemu lagi, kak" ia pu...