Senin, 14 November 2022

Sampai Ketemu Lagi

Sampai ketemu lagi.

"Kak As, nanti saya telpon ya"

Aku menjwabnya dengan senyuman.

"Sampai ketemu lagi, kak" ia pun melengkungkan bibirnya. Manis.

Berkali-kali ia bahkan masih melambaikan tangan ketika pick up yang membawanya mulai bergerak meninggalkan halaman kosku yang juga halaman rumah tantenya.

aku balas melambaikan tangan ke arahnya, "fiy amanillah"

***

Beberapa bulan lalu aku mulai menempati kos bercat kuning berjarak sekitar 1 km dari madrasah tempat tugasku. Bangunan kos itu memiliki 4 kamar yang semuanya menghadap ke sisi kanan bangunan rumah  pemiliknya. Gerbang masuk kos tentu adalah gerbang rumah empu kos.

Sang Empu yang kini kupanggil Bapak dan Mama ialah pasangan nan luar biasa sabar. Banyak hal tentang mereka pelan-pelan kuketahui. Rupanya Allah masih belum mengaruniai anak bagi keduanya. Namun, para keponakan silih berganti membersamai Bapak dan Mama.

 

Sejak awal yang kutau hanya seorang anak  perempuan kelas XI MAM1 yang dengan ketus melayaniku saat pertama kali aku berbelanja di kios kala itu. Namun, beberapa waktu setelah aku menempati kos, pertengahan bulan Juni lalu ketika Mama kembali dari Selayar, ada seorang anak perempuan yang kelihatannya rajin lagi pandai memasak.

"Assalaamu 'alaykum" ketiga kalinya aku mengucapkan salam.

"Wa 'alaykumussalaam wa rahmatullah wa barakaatuh" Lengkap ia mendo'akanku. Seorang gadis yang kulihat masih mengenakan mukena muncul untuk melayani ku.

"Maaf, beli apa, kak?

"Beli mi" kusodorkan selembar uang lima ribu ke arahnya.

Firda namanya. Seorang gadis berkulit putih, wajahnya oval dengan bibir tipis dan hidung bangir. Pipinya mudah memerah. Ia pemalu sekaligus perasa.

Aku ingat betul pertemuan pertamaku dengannya itu.

 

Ia tak banyak bicara. Bahkan tiap kata yang  terlontar dari mulutnya serasa selalu penuh perhitungan. Bak seorang anak matematika yang jago hitung dan menganalisis, bagai sang arsitektur yang senantiasa cermat lagi teliti menentukan konsep lengkap dengan biayanya, bahkan ia seperti ahli ekonomi yang konsisten menjalankan prinsip modal tertentu, hasil unlimited.

"Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa alihi" ucapnya lirih saat kami sedang menapaki lorong kecil berkerikil di komplek dekat rumah. Matahari sedang tertawa menang menumpahkan semua cahayanya tanpa batas ke seantero permukaan bumi tempat kami lewat siang itu sepulang dari ATM.

"Kakak.. panas ini pasti belum seberapa ya dibandingkan hari berkumpulnya kita suatu hari nanti" tuturnya pelan sambil menoleh ke arahku.

"Benar, Da"

"Apa kita akan bisa melewati shirath..? Tanpa tergelincir?" Ada mata air di netranya.

"Allahumma shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala ali sayyidinaa Muhammad" ucapnya lagi untuk kesekian kalinya sepanjang kami berjalan.

"Allahumma shalli 'alayh wa alihi" aku menanggapi shalawat yang dikirimkannya pada Nabi. Aku tidak mau disebut pelit oleh Nabi.

Tanpa terasa perjalanan kami berakhir di teras rumah. Mama dan Bapak sedang duduk berdua, berdampingan di antara deretan kursi yang disediakan di sana.

Aku pun mendudukkan diriku di lantai. Begitu pula Firda.

"Tante, pulang..." Volume suaranya mengecil di kata kedua.

Mama hanya memberikan tatapan yang bisa kuartikan sebagai kata tidak.

Sementara Firda menarik bibirnya. Datar. Lalu ia memilih bangkit dari duduknya.

 

Semula kukira dia merajuk dan hendak mengurung diri di kamar. Ternyata dia menyimpan kartu ATM miliknya yang tadi dicek dan katanya belum ada kiriman.

"Kakak liburannya nanti ke Selayar yuk" kalimat pertama yang diucapkannya setelah ia kembali duduk di dekatku.

"Atau.. kak As mengajar di sana saja" Agnes yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah juga menambahi idenya.

"Mana bisa Da, Nes" Tanggapku pendek.

"Tempat kakak mengajar ditentukan oleh Pak Menteri, harus berdasarkan surat penting yang disebut SK, Nes."

Mama dan Bapak hanya bisa saling pandang menahan tawa.

"Kalau sekedar jalan-jalan selama waktu libur.. ya, bisa saja. Asal liburnya agak lama, cukup untuk waktu pergi, plesir, dan pulang tentunya" jawabanku akhirnya membuat menit-menit selanjutnya penuh dengan celotehan serba-serbi selayar.

Hingga setelah Bapak beranjak menuju masjid, Firda adalah yang pertama bergerak menanggapi seruan menuju kebahagiaan.

"Hayya 'alal falah..."

***

"Ponsel kakak kemarin kehabisan daya, kakak ngobrol cuma sebentar" aku dan Agnes bertukar cerita di teras saat Mama sedang bicara pada Bapak menggunakan hp si Agnes.

"Kata Aji2, Firda tidak mau makan, kak" ucap Agnes pelan.

"Firda lagi sakit, mulutnya tidak enak, kak" Agnes menjawab pertanyaan yang tergambar dari ekspresiku sebelumnya.

Aku sengaja melempar tanya yang bercokol di kepalaku.

"Sakit apa?"

"Sakit kepala, kadang pinggangnya juga. Makanya sudah dua hari Firda tiduran saja, kak"

"Semoga Firda lekas membaik ya"

"Aamiin" Agnes ikut mengungkapkan harapannya bersama satu kata yang kurapalkan di akhir semogaku.

Mega merah di ufuk barat telah menghilang sedari tadi berganti pekatnya hitam sang malam. Dari ihwal yang diceritakan Agnes, aku mengerti bahwa selama ini Firda menunggu kiriman untuk bisa segera pulang. Beberapa kali ia memang meminta agar kembali ke Selayar. Namun, beberapa hal membuat Mama berusaha memupus keinginan Firda sementara waktu.

"Assalaamu 'alaykum" suaranya seakan nyata seperti wajahnya yang tiba-tiba mondar-mandir di benakku.

Ahad pagi di pekan pertama bulan Oktober kemarin, Firda dan Agnes memenuhi inginku, membunuh penasaran akan dermaga laut Nangamese yang terkenal sebagai tempat berakses puluhan motor laut penyedia jasa menuju 17 pulau tersohor di daerah Riung ini. Bersama mentari yang tak bosan menyapa hari dengan menyembulkan pipinya di ufuk timur, seusai shubuh kami bertiga berjalan santai menuju dermaga.

Aku melihat sisi lain seorang Firda di sana. Ia menampilkan dirinya tak jauh beda dengan Agnes, riang.

"Keep, kak" ucapnya tiba-tiba setelah kutunjukkan padanya video berisi rekaman dirinya.

Ya, aku memutar tubuhku 360° dan berakhir di dirinya yang sedang duduk di tepi kanan bagian tengah dermaga saat itu.  Di akhir video, aku memintanya say hi dan ia mengucapkan salam. Persis... Seperti suara yang baru saja mengetuk gendang telingaku tadi.

Ah, Firda..

Kau merinduku?

***

Sepi. Lapangan voli di pojok kanan perempatan jalan dekat kos yang biasanya menjadi langganan tempat pertandingan kecil warga komplek dan sekitarnya kosong. Bahkan sekedar permainan tanpa personil lengkap pun tak terlihat tanda-tandanya akan terjadi sore itu. Aku memilih langsung membuka pintu kamarku. Sejak pagi aku dan teman-teman sudah cukup bergelung dengan bahan-bahan pekerjaan kami. Rasanya aku ingin ber-me time.

"Assalaamu 'alaynaa wa 'alaa 'ibadihi shshaalihiyn" benar-benar sepi sampai aku bisa mendengar lirih salamku sendiri saat memasuki kamar.

Ketika membuka jendela, sorot mataku menabrak beberapa pasang sandal di depan pagar teras rumah Bapak dan Mama. Pikiranku seketika berlari ke lorong-lorong waktu.

"Pulau selayar itu seperti Alif, kak" ucap Firda melucu. Namun, benar adanya.

"Kalau nanti kakak ke sana.." ia tersenyum lebar. Manis. Seperti biasanya. Ia seakan tengah membayangkan keberangkatanku ke kampung halamannya. "Dari sini Flores, kakak naik kapal sekitar 14 jam perjalanan lalu singgah di Jampea. Selanjutnya kapal akan ke Bira, kak.” Ia sengaja berhenti berucap. Seolah sedang berkaca di bola mataku, ia menatapku lekat.

“Turun di Bira?”

“Hu’um” ia mengangguk. Senyumnya pun merekah.

“Dari pelabuhan Bira, kakak masih harus naik kapal lagi ke Tammatata” Ia memberi jeda agar aku meresapi kata-katanya.

“Sedikit lagi kakak sampai tuh. Di Tammatata kakak akan numpang angkot menuju dermaga Padang” wajahnya berseri, seakan-akan dirinya benar-benar sedang menempuh perjalanan dan kini sampai di dermaga Padang yang disebutnya.

“Sekarang tinggal sisanya, kak. Naiklah perahu tujuan dermaga Kahu-kahu… kalau kakak sudah menapaki tanah, jangan lupa toleh kiri kanan, karena aku menunggu kakak di area dermaga itu, kak” ia tertawa kecil.

"Apa nama kampung kalian?"

"Kahu-kahu, kak"

"Di sana ada bandara?"

"Ada di kecamatan sebelah, beda pulau. Satu daratan dengan Rumah Sakit dan dermaga Padang tadi, kak."

Sebelum akhirnya Bapak mengantarnya kembali ke sana, Firda dengan ceria banyak membicarakan tentang kampungnya.

“ternyata Orang tua Firda khawatir merepotkan Aji, kak” ucap Agnes di sela menyesap minumannya sepulang dari madrasah kemarin.

Kusiratkan tanya di wajahku.

“Jadi selama ini Firda di rumah saja, baru tadi diantar ke rumah sakit” Agnes mengungkap hal yang tak terpikir olehku. “butuh ongkos besar, kak. Mana rumah sakit jauh pula”

O iya, pertama pasti menyeberang dulu. Aku membenarkan perkataan Agnes dengan diamku. Sebongkah sesal mencuat dihatiku. Aku tak memberi apapun yang berarti untuk Firda.

“Bu guru, Firda minta do’anya, bu guru” suara Bapak dialamatkan untukku saat Mama sedang video call dengan keluarga di Selayar. Bapak melihatku lewat di belakang Mama ketika itu.

“Iya, Bapak. Semoga Firda lekas pulih” jawabku takzim sambil memandang sebentuk senyum Firda yang duduk di samping Bapak.

“Kakak...” senyumnya kian mengembang bersama air matanya yang tetiba menggenang.

Hanya itu. Satu kata. Aku pun hanya tersenyum sebelum hape kembali berpindah tangan dariku.

Adzan ashar mulai berkumandang. Aku berhenti melanglang buana. Kukumpulkan kesadaranku untuk kembali ke sore yang sepi ini.

Tiba-tiba lengkingan membelah hening di tengah adzan. Aku bersegera bangkit keluar kamar tanpa peduli pada jiwaku yang masih berlari dari gang sempit sang waktu mengejaraku menuju rumah bapak dan mama.

Para tetangga pun tak kalah kagetnya. Mereka bermunculan dari rumah masing-masing. Sama sepertiku. Satu kata yang membuatku sepenuhnya tersadar adalah FIRDA.

Dari pintu kulihat Mama menangis. Memanggil Firda dengan lirihnya. Pilu. Betapa seorang Wanita yang menganggap para kemenakan sebagai anaknya kini kehilangan anak yang bahkan belum pernah ia miliki.

Sedangkan Agnes berlinang air mata sambil tetap memegang ponsel yang masih tersambung panggilan video dan menampilkan gambar keadaan diri Firda. Aku memilih mendekat ke arah Mama. Berusaha menguatkannya. Tanpa kata, hanya elusan yang bisa kuberikan.

Akhirnya hp Agnes berada di tanganku. “Innaa lillahi wa innaa ilayhi raji’uun” kupandangi wajahnya. Ia terbujur di tengah ruangan. “Allahummaghfirlahaa warhamhaa wa ‘aafihaa wa’fu ‘anhaa”.

Kubisikkan pula shalawat atas Nabi karena aku ingin do’aku untuk Firda sampai pada Allah. Lama kupandangi wajah putih gadis bersenyum manis itu.

Apa belakangan ini kau rajin bersolek untuk mengaburkan pucat wajahmu?

Ternyata orang baik memang selalu lebih dulu terbebas dari dosa dan beristirahat lebih awal.

Apa senyummu karena sebelum waktumu usai kau melihat amalmu menampakkan dirinya berwujud indah?

Aku masih memegang hp Agnes. Tante Ros, ipar Mama yang duduk didekatku berbicara dengan suara rendah. “Tadi dia sendiri yang minta makan”

“Pantas ia mendesak untuk kembali ke Selayar, rupanya ia akan pulang” suara Mama kudengar terbata di antara tangisnya.

Aku mengalihkan pandanganku dari hp sekaligus kuberikan ke Mama untuk melihat Firda lagi sebelum dimandikan apalagi dikafani. Dan yang kudapat adalah isak yang makin mengguncangkan pundak Mama.

“Baru saja aku minta maaf, nak.”  Mama berkata entah kepadaku atau pada Firda.

Agnes pun membisikiku kejadian beberapa waktu lalu. Mama sebagai orang tua dengan rendah hati meminta maaf pada Firda sekiranya ada salah kata atau perbuatan yang Firda tidak berkenan.

“Firda mengangguk, kak”

Alhamdulillah, Mama sempat minta maaf. Aku?!

‘Ashar berlalu. Jangankan shalat ghaib, shalat wajib empat rakaat di sore ini pun mustahil kulakukan. Aku sedang tak bisa shalat. Maka aku meniru Firda, menggumamkan shalawat berulang kali. Berharap kelak Nabi mengakuiku, memberi syafa’at untuk Firda juga aku.

Perlahan tangis Mama mereda. Mama sudah bisa bicara seperti biasa.

Seperti di Selayar, selama 3 malam akan diadakan tahlilan di rumah.

Allah Rahmaan.. Firda, beruntunglah kamu yang mendahului kami saat ini. Aku tidak tau seperti apa aku berpulang nanti.

Tunggu kakak, Firda.. Sampai ketemu lagi...

 

 

 

 

1.      MAM                    :  Madrasah Aliyah Muhammadiyah

2.      Aji                        :  Panggilan sayang Agnes untuk Bapak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sampai Ketemu Lagi

Sampai ketemu lagi. "Kak As, nanti saya telpon ya" Aku menjwabnya dengan senyuman. "Sampai ketemu lagi, kak" ia pu...