"Kak As, nanti saya telpon ya"
Aku menjwabnya dengan senyuman.
"Sampai ketemu lagi, kak" ia
pun melengkungkan bibirnya. Manis.
Berkali-kali ia bahkan masih
melambaikan tangan ketika pick up yang membawanya mulai bergerak meninggalkan
halaman kosku yang juga halaman rumah tantenya.
aku balas melambaikan tangan ke
arahnya, "fiy amanillah"
***
Beberapa bulan lalu aku mulai menempati
kos bercat kuning berjarak sekitar 1 km dari madrasah tempat tugasku. Bangunan
kos itu memiliki 4 kamar yang semuanya menghadap ke sisi kanan bangunan
rumah pemiliknya. Gerbang masuk kos
tentu adalah gerbang rumah empu kos.
Sang Empu yang kini kupanggil Bapak dan
Mama ialah pasangan nan luar biasa sabar. Banyak hal tentang mereka pelan-pelan
kuketahui. Rupanya Allah masih belum mengaruniai anak bagi keduanya. Namun,
para keponakan silih berganti membersamai Bapak dan Mama.
Sejak awal yang kutau hanya seorang
anak perempuan kelas XI MAM1
yang dengan ketus melayaniku saat pertama kali aku berbelanja di kios kala itu.
Namun, beberapa waktu setelah aku menempati kos, pertengahan bulan Juni lalu
ketika Mama kembali dari Selayar, ada seorang anak perempuan yang kelihatannya
rajin lagi pandai memasak.
"Assalaamu 'alaykum" ketiga
kalinya aku mengucapkan salam.
"Wa 'alaykumussalaam wa
rahmatullah wa barakaatuh" Lengkap ia mendo'akanku. Seorang gadis yang
kulihat masih mengenakan mukena muncul untuk melayani ku.
"Maaf, beli apa, kak?
"Beli mi" kusodorkan selembar
uang lima ribu ke arahnya.
Firda namanya. Seorang gadis berkulit
putih, wajahnya oval dengan bibir tipis dan hidung bangir. Pipinya mudah
memerah. Ia pemalu sekaligus perasa.
Aku
ingat betul pertemuan pertamaku dengannya itu.
Ia
tak banyak bicara. Bahkan tiap kata yang
terlontar dari mulutnya serasa selalu penuh perhitungan. Bak seorang
anak matematika yang jago hitung dan menganalisis, bagai sang arsitektur yang
senantiasa cermat lagi teliti menentukan konsep lengkap dengan biayanya, bahkan
ia seperti ahli ekonomi yang konsisten menjalankan prinsip modal tertentu,
hasil unlimited.
"Allahumma
shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa alihi" ucapnya lirih saat kami sedang
menapaki lorong kecil berkerikil di komplek dekat rumah. Matahari sedang
tertawa menang menumpahkan semua cahayanya tanpa batas ke seantero permukaan
bumi tempat kami lewat siang itu sepulang dari ATM.
"Kakak..
panas ini pasti belum seberapa ya dibandingkan hari berkumpulnya kita suatu
hari nanti" tuturnya pelan sambil menoleh ke arahku.
"Benar,
Da"
"Apa kita akan bisa melewati shirath..?
Tanpa
tergelincir?" Ada mata air di netranya.
"Allahumma
shalli 'ala sayyidinaa Muhammad wa 'ala ali sayyidinaa Muhammad" ucapnya
lagi untuk kesekian kalinya sepanjang kami berjalan.
"Allahumma
shalli 'alayh wa alihi" aku menanggapi shalawat yang dikirimkannya pada
Nabi. Aku tidak mau disebut pelit oleh Nabi.
Tanpa
terasa perjalanan kami berakhir di teras rumah. Mama dan Bapak sedang duduk
berdua, berdampingan di antara deretan kursi yang disediakan di sana.
Aku pun mendudukkan diriku di lantai. Begitu pula
Firda.
"Tante, pulang..." Volume suaranya mengecil di kata kedua.
TBC.
Baca kelanjutannya di Kidung Cinta Sahabat Antologi Cerpen Pegiat Literasi Nusantara, ya..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar